Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Artikel

Topeng Digital: Persona Online dan Ancaman Alienasi

13
×

Topeng Digital: Persona Online dan Ancaman Alienasi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Di era digital yang serba terhubung, kita kerap mengenakan “topeng” maya—persona online—untuk berinteraksi di media sosial. Konsep persona, seperti yang dijelaskan oleh Carl Gustav Jung, memang tentang beradaptasi dengan lingkungan; menampilkan diri sesuai kebutuhan dan konteks. Namun, di dunia maya yang serba instan dan visual ini, persona online bisa menjadi pisau bermata dua. Ia mampu menghubungkan kita dengan orang lain, tetapi juga berpotensi mengasingkan kita dari diri sendiri.

Media baru, dengan kemampuannya menjangkau siapa pun di mana pun dan kapan pun, memungkinkan kita membangun identitas digital yang sepenuhnya berbeda dari kepribadian kita di dunia nyata. Instagram, LinkedIn, atau platform media sosial lainnya, memberikan panggung untuk menampilkan berbagai sisi diri—profesional, kasual, bahkan anonim. Kita bisa memilih untuk menampilkan citra ideal, menyembunyikan kelemahan, atau bahkan menciptakan alter ego sepenuhnya.

Example 300x600

Permasalahannya muncul ketika kita terlalu larut dalam membangun persona online yang sempurna. Kita terjebak mengejar validasi dari “suka”, komentar, dan jumlah pengikut, lupa untuk intropeksi dan mengenali jati diri sejati. Identitas kita menjadi semu, lebih merupakan refleksi dari harapan sosial daripada ekspresi diri yang otentik. Inilah yang mengarah pada alienasi—keterasingan dari diri sendiri.

Alienasi, awalnya dikaitkan dengan sistem kapitalis dan eksploitasi buruh, di sini bergeser menjadi pengalaman individual yang lebih personal. Alih-alih terhubung, media sosial—ironisnya—bisa memperburuk rasa kesepian dan ketidakpuasan diri. Kita terjebak dalam simulakra, seperti yang diungkapkan Jean Baudrillard, dunia maya yang meniru kenyataan namun hampa makna. Kita mencari eksistensi dalam jumlah like dan follower, hingga ungkapan “Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir, maka aku ada) berubah menjadi “Aku bermedia sosial, maka aku ada.”

Persona online sebagai alat adaptasi bisa menjadi bumerang jika tidak diimbangi dengan kesadaran diri yang kuat. Kita perlu bijak dalam menggunakan media sosial, tidak terjebak dalam mengejar citra sempurna, dan menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Ingatlah bahwa identitas kita jauh lebih luas dan mendalam daripada sekadar profil media sosial. Koneksi sejati berakar pada pemahaman diri yang jujur dan hubungan manusia yang autentik, bukan hanya pada jumlah angka virtual.

Sumber : https://ketiketik.com/persona-media-baru-alienasi-dan-manifestasi-topeng-sosial-yang-digunakan/

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *