Setelah hampir satu dekade, Sunlie Thomas Alexander kembali menyapa para penikmat puisi dengan karyanya yang terbaru, “Rumah”. Buku ini, diterbitkan oleh Gambang pada September 2023, merupakan suksesor dari buku pertamanya, “Sisik Ular Tangga” yang terbit pada 2014. “Rumah” mengarungi tema-tema kental kebudayaan Tionghoa, khususnya sejarah dan identitasnya di Pulau Bangka.
Buku ini terbagi dalam tiga bagian: “Dari Thong San”, “Ke Jalan Lain”, dan “Ke Mong Kap San”. Bagian pertama dan ketiga begitu kaya akan sejarah dan identitas Tionghoa, menawarkan pembaca perjalanan mendalam ke akar budaya. Namun, bagian kedua terasa sedikit menyimpang, lebih cocok berdiri sendiri sebagai karya terpisah. Meskipun demikian, kehadirannya masih bisa dimaklumi, namun mengurangi fokus tema utama buku ini. Saran saya, jika bagian kedua dihilangkan, buku ini akan tetap kuat dan lebih padu dengan 28 puisi yang tersaji.
Meskipun demikian, kualitas puisi-puisi Sunlie tetap tak perlu diragukan. Ia dengan apik melukiskan kedatangan dan interaksi orang-orang Tionghoa di Nusantara, menelusuri jejak migrasi dari Tiongkok Tenggara – Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, dan Tiochiu – dan bagaimana mereka membentuk sejarah Bangka. Puisi “Migrasi ke Bangka”, misalnya, menggambarkan dengan hidup kedatangan para pendatang dan perkembangan komunitas mereka di pulau tersebut.
Buku ini juga mengungkapkan nasib para pekerja tambang timah Tionghoa, yang banyak terpaksa berjuang di tengah kondisi keras dan penuh cobaan. Sunlie tidak segan memaparkan realita hidup mereka, termasuk perjuangan melawan kemiskinan, penyakit, dan jeratan candu. Puisi “Mata Ikan”, misalnya, menggambarkan secara menyayat hati kesengsaraan yang mereka alami.
Sebagai generasi penerus para imigran, Sunlie mengeksplorasi identitasnya sendiri, merasa terombang-ambing antara akar budaya Tionghoa dan realita kehidupannya di Bangka. Pergulatan identitas ini tergambar jelas dalam beberapa puisinya.
Lebih dari sekadar kisah keluarga dan migrasi, “Rumah” juga menyinggung peristiwa-peristiwa politik penting. Beberapa puisinya terinspirasi dari peristiwa di Hongkong, insiden 228, dan konflik di Kosovo.
Buku ini juga menawarkan pandangan pribadi Sunlie tentang Bangka, tanah kelahirannya. Ia menulis tentang kota Belinyu, Goa Maria Belinyu, ruko-ruko tua, dan kenangan masa kecilnya di pulau timah itu.
“Rumah”, bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga metafora untuk ingatan, perasaan, sejarah keluarga, dan pencarian identitas. Ia adalah tempat menemukan cinta, perhatian, dan kedamaian; sebuah alasan untuk hidup, seperti yang diungkapkan Sunlie sendiri. Buku ini merupakan suatu karya yang memikat dan bermakna, yang patut dibaca oleh semua yang menghargai puisi dan sejarah.
Sumber : https://ketiketik.com/rumah-sebagai-identitas-sejarah/