Buku “Di Mana Kuenya?” karya Thé Tjong-Khing bukanlah buku anak-anak biasa. Tanpa sepatah kata pun, buku bergambar ini justru memicu imajinasi dan kreativitas si pembaca. Pengalaman pribadi sang pengulas, R. Ari Nugroho, dalam membacakan buku ini pada anak-anaknya, Rumbia dan Kal, menjadi bukti nyata kekuatan ilustrasi yang mampu bercerita sendiri.
Buku yang berdimensi 25.29 x 29.38 cm dan terdiri dari 28 halaman ini awalnya membuat Nugroho ragu. Bagaimana menceritakan sebuah buku tanpa kata? Namun, justru ketidakhadiran teks inilah yang membuatnya tertarik. Proses membacakan buku ini menjadi interaktif dan spontan, dengan Nugroho merespon pertanyaan-pertanyaan Rumbia secara alami. Reaksi positif Rumbia (“Bagus, ya, Mbak Rum, bukunya?”) menjadi bukti bahwa buku ini memang mampu memikat anak-anak. Apresiasi internasional yang diraih buku ini, yaitu penghargaan Woutertje Pieterse Prijs dan Zilveren Penseel di Belanda, semakin menegaskan kualitasnya.
Yang membedakan “Di Mana Kuenya?” dari buku anak-anak lain terletak pada sampulnya. Sampul buku ini bukan sekadar ilustrasi sepotong adegan, melainkan bagian integral dari cerita. Ilustrasi Tuan dan Nyonya Anjing, kue di atas meja, dan dua tikus yang mengincar kue tersebut sudah memulai alur cerita.
Buku ini menampilkan berbagai tokoh dan cerita mini yang berjalan paralel: katak bermain bola, anak kelinci menangis, sekawanan monyet, dan lain-lain. Awalnya, Nugroho khawatir hal ini akan membingungkan, tetapi justru di situlah keunikannya. Berbagai alur cerita ini bergerak bersama, menciptakan harmoni di akhir.
Nugroho membandingkan buku ini dengan komentar Noor H. Dee di Instagram mengenai cerita anak Indonesia yang seringkali bergantung pada ilustrasi, sementara cerita atau teksnya kurang kuat. “Di Mana Kuenya?” menawarkan alternatif: sebuah eksplorasi ilustrasi yang membebaskan imajinasi pembaca dan menantang anggapan bahwa teks selalu menjadi elemen utama sebuah cerita anak. Buku ini membuktikan bahwa gambar bisa menjadi raja, bahkan tanpa harus mengalahkan kata-kata.
Sumber : https://ketiketik.com/di-mana-kuenya-cerita-tanpa-cerita/