Pengalaman mengunjungi dua pameran keramik Liat Menggeliat, “Translation” di tahun 2023 dan “Cipta Amarta” di awal 2025, memberikan kontras yang menarik. Pameran “Translation” terasa padat dan penuh energi, seperti perayaan kembalinya komunitas setelah masa pandemi. Meskipun ramai saat pembukaan, kesannya tetap padat bahkan setelah pengunjung mulai berkurang. Pengalaman ini diwarnai pula oleh insiden motor penulis yang mogok di tengah gerimis setelah pameran.
Berbeda dengan “Translation”, “Cipta Amarta” di Equalitera Artspace menawarkan suasana yang lebih luas dan lapang. Penataan ruang dan pemilihan karya terasa lebih matang. Teknik-teknik sederhana yang digunakan para seniman diolah dengan mahir, menghasilkan karya-karya yang berbobot. Tema “Cipta Amarta” sendiri memberikan atmosfer yang nyaman dan magis, menjelajahi tema abadi dan fana dalam seni keramik dengan cara yang liris dan personal. Penggunaan elemen tambahan seperti bunga hidup, lilin, pasir, dan benda sehari-hari semakin memperkuat makna keramik sebagai material yang abadi namun rapuh.
Setelah menikmati pameran dan e-katalognya, penulis terkesan dengan penggolongan tematik yang terstruktur. Pengalaman ini meninggalkan kesan mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan yang diangkat, sekaligus menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan Liat Menggeliat. Sebagai komunitas yang telah lama berkiprah, Liat Menggeliat bukan sekadar kelompok keramik biasa. Penulis berharap komunitas ini dapat mengembangkan proyek jangka panjang dengan tema berkesinambungan dan arah yang jelas, mengingat akarnya di kampus seni Yogyakarta. Pertanyaan besar yang tertinggal adalah: apa yang ingin ditawarkan Liat Menggeliat selain sekadar keberadaan dan kuantitas karya? Pertanyaan ini menjadi renungan di awal tahun, menanti perkembangan dan kegiatan-kegiatan komunitas di masa mendatang.
Sumber : https://ketiketik.com/melihat-cipta-amarta-dari-liat-menggeliat-sehabis-gerimis-yang-merambat/