Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Artikel

Anime, Buku, dan Negara: Sebuah Percakapan Menarik

11
×

Anime, Buku, dan Negara: Sebuah Percakapan Menarik

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Sore itu, Tono, seorang santri, menyelesaikan manga My Hero Academia. Tiba-tiba, Sarimin, adik kelasnya yang tampak murung, menghampirinya. Pak Paidi, gurunya, melarang Sarimin membaca Attack on Titan, menganggapnya tidak mendidik. Tono tersenyum simpul; anggapan bahwa hanya buku pelajaran yang mendidik masih menghantui sebagian guru di Indonesia.

Tono penasaran dengan bacaan Sarimin lainnya. Ternyata, bocah itu telah menamatkan Tokyo Ghoul, Death Note, Attack on Titan, One Piece, Jujutsu Kaisen, dan Naruto! Tono terkesima. Membaca manga di pesantren bukanlah hal mudah.

Example 300x600

Sarimin bertanya pendapat Tono tentang larangan membaca Attack on Titan. Bagi Tono, jawabannya jelas: membaca apa pun, termasuk komik, bermanfaat dan mendidik. Tono percaya membaca komik bisa membuka jalan ke bacaan lain—pengalaman pribadinya membuktikan hal ini.

Tono yakin akan manfaat membaca, terutama bagi seorang santri yang seharusnya memiliki wawasan luas, bukan meniru wakil presiden yang mengaku tak suka membaca. Namun, ia memilih pendekatan lain, bertanya tokoh favorit Sarimin. Jawabannya: Eren Yeager dari Attack on Titan. Tono terkejut, bukan karena Sarimin terjangkit Main Character Syndrome, tapi karena pilihannya.

Tono menantang Sarimin, “Tapi Eren kan jahat. Kenapa kamu suka dia?” Sarimin menjawab, “Dia jahat karena terpaksa, Kang. Dunia yang bikin dia jadi gitu.” Jawaban ini membuat Tono terhenyak. Eren memang menjadi musuh dunia demi orang-orang yang dicintainya, namun terhalang oleh egoisme, keserakahan, dan sistem pemerintahan yang bobrok.

Percakapan berlanjut ke Jujutsu Kaisen. Tokoh favorit Sarimin: Geto Suguru! Alasannya? “Dia nggak munafik kayak para petinggi jujutsu, Kang.” Sekali lagi, Sarimin menyentil ketidaksukaannya pada pejabat. Meskipun masih muda, Sarimin nampaknya peka terhadap intrik kekuasaan dan ketidakadilan sosial. Ia menangkap esensi pemberontakan Geto, bukan sekadar sebagai ekstremis, melainkan sebagai reaksi terhadap sistem yang menindas.

Tono menyadari bahwa Sarimin memiliki jiwa pemberontak. Ia ingin memupuknya. Tono kemudian merekomendasikan berbagai buku: Animal Farm dan 1984 karya George Orwell, Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, karya-karya Leila Chudori, Dostoevsky, Franz Kafka, Osamu Dazai, Elie Wiesel, Mochtar Lubis, dan John Steinbeck. Ia membagi pengalaman membaca yang beragam, mulai dari kritik sosial-politik hingga eksplorasi psikologi manusia dan perang.

Tono menyadari ia telah terlalu bersemangat, membombardir Sarimin dengan daftar panjang buku. Ia mengalihkan pembicaraan ke Naruto. Tokoh favorit Sarimin: Madara Uchiha. Tono menahan diri untuk tidak langsung menyimpulkan bahwa Sarimin akan menjadi revolusioner. Namun, realita negara—nepotisme, hukum yang tajam ke bawah, represi, dan kebijakan yang merugikan rakyat—memberikan banyak alasan bagi munculnya keinginan untuk revolusi.

Tono kemudian memutar video monolog Pain dari Naruto di YouTube, tentang penderitaan dan kedamaian. Apakah Sarimin memahami relevansinya dengan kondisi negara? Tono tidak tahu pasti. Namun, ia merasa Sarimin perlu mendengarnya. Percakapan itu menjadi refleksi tentang kondisi negara dan bagaimana imajinasi anak muda terpengaruh oleh realitas sosial.

Sumber : https://ketiketik.com/anime-manga-membaca-negara-pleidoi-singkat-seorang-wibu/

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *